Konsep Manusia Dalam Islam
Manusia
diciptakan Allah Swt. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah,
alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling
sempurna yang memiliki berbagai kemampuan. Oleh karena itu, manusia
wajib bersyukur atas karunia yang telah diberikan Allah Swt.
Manusia
menurut pandangan al-Quran, al-Quran tidak menjelaskan asal-usul
kejadian manusia secara rinci. Dalam hal ini al-Quran hanya menjelaskan
mengenai prinsip-prinsipnya saja. Ayat-ayat mengenai hal tersebut
terdapat dalam surat Nuh 17, Ash-Shaffat 11, Al-Mukminuun 12-13, Ar-Rum
20, Ali Imran 59, As-Sajdah 7-9, Al-Hijr 28, dan Al-Hajj 5.
Al-Quran
menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan mempergunakan
bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah.
Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah dari
bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun
tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, al-Quran tidak menjelaskan
secara rinci. Manusia yang sekarang ini, prosesnya dapat diamati
meskipun secara bersusah payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam
dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses
penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara permatozoa dengan ovum.
Ayat-ayat
yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah, umumnya dipahami
secara lahiriah. Hal ini itu menimbulkan pendapat bahwa manusia
benar-benar dari tanah, dengan asumsi karena Tuhan berkuasa , maka
segala sesuatu dapat terjadi.
Akan tetapi ada sebagian umat islam yang berpendapat bahwa Adam
bukan manusia pertama. Pendapat tersebut didasarkan atas asumsi bahwa:
Ayat-ayat
yang menerangkan bahwa manusia diciptakan dari tanah tidak berarti
bahwa semua unsur kimia yang ada dalam tanah ikut mengalami reaksi
kimia. Hal itu seperti pernyataan bahwa tumbuh-tumbuhan bahan makanannya
dari tanah, karena tidak semua unsur kimia yang ada dalam tanah ikut
diserap oleh tumbuh-tumbuhan, tetapi sebagian saja. Oleh karena itu
bahan-bahan pembentuk manusia yang disebut dalam al-Quran hanya
merupakan petunjuk manusia yang disebut dalam al-Quran , hanya merupakan
petunjuk dimana sebenarnya bahan-bahan pembentuk manusia yaitu ammonia,
menthe, dan air terdapat, yaitu pada tanah, untuk kemudian bereaksi
kimiawi. Jika dinyatakan istilah “Lumpur hitam yang diberi bentuk”
(mungkin yang dimaksud adalah bahan-bahan yang terdapat pada Lumpur
hitam yang kemudian diolah dalam bentuk reaksi kimia). Sedangkan kalau
dikatakan sebagai tembikar yang dibakar , maka maksudnya adalah bahwa
proses kejadiannya melalui oksidasi pembakaran. Pada zaman dahulu tenaga
yang memungkinkan terjadinya sintesa cukup banyak dan terdapat di
mana-mana seperti panas dan sinar ultraviolet.
Ayat
yang menyatakan ( zahir ayat ) bahwa jika Allah menghendaki sesuatu
jadi maka jadilah ( kun fayakun ), bukan ayat yang menjamin bahwa setiap
yang dikehendaki Allah pasti akan terwujud seketika. Dalam hal ini
harus dibedakan antara kalimat kun fayakun dengan kun fa kana. Apa yang
dikehendaki Allah pasti terwujud dan terwujudnya mungkin saja melalui
suatu proses. Hal ini dimungkinkan karena segala sesuatu yang ada
didunia juga mengalami prosi yang seperti dinyatakan antara lain dalam
surat al-A’la 1-2 dan Nuh 14.
Jika
diperhatikan surat Ali Imran 59 dimana Allah menyatakan bahwa
penciptaan Isa seperti proses penciptaan Isa seperti proses penciptaan
Adam, maka dapat menimbulkan pemikiran bahwa apabila isa lahir dari
sesuatu yang hidup, yaitu maryam, maka Adam lahir pula dari sesuatu yang
hidup sebelumnya. Hal itu karena kata “tsumma” yang berarti kemudian,
dapat juga berarti suatu proses.
Perbedaan
pendapat tentang apakah adam manusia pertama atau tidak, diciptakan
langsung atau melalui suatu proses tampaknya tidak akan ada ujungnya
karena masing-masing akan teguh pada pendiriannya. Jika polemik ini
senantiasa diperpanjang, jangan-jangan hanya akan menghabiskan waktu dan
tidak sempat lagi memikirkan tentang status dan tugas yang telah
ditetapkan Allah pada manusia al-Quran cukup lengkap dalam memberikan
informasi tentang itu.
Untuk
memahami informasi tersebut secara mendalam, ahli-ahli kimia, biologi,
dan lain-lainnya perlu dilibatkan, agar dalam memahami ayat-ayat
tersebut tidak secara harfiah. Yang perlu diingatkan sekarang adalah
bahwa manusia oleh Allah, diharapkan menjadi khalifah ( pemilih atau
penerus ajaran Allah ). Status manusia sebagai khalifah , dinyatakan
dalam al-baqarah 30. kata khalifah berasal dari kata khalafa yakhlifu
khilafatan atau khalifatan yang berarti meneruskan, sehingga kata
khalifah dapat diartikan sebagai pemilih atau penerus ajaran Allah.
Kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan pemimpin atau pengganti, yang
biasanya dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat islam sesudah Nabi
Muhammad saw wafat , baik pimpinan yang termasuk khulafaurrasyidin
maupun di masa Muawiyah-‘Abbasiah.
Perlu
diingat bahwa istilah khalifah pernah dimunculkan Abu bakar pada waktu
dipercaya untuk memimpin umat islam. Pada waktu itu beliau mengucapkan
inni khalifaur rasulillah, yang berarti aku adalah pelanjut sunah
rasulillah. Dalam pidatonya setelah diangkat oleh umat islam, abu bakar
antara lain menyatakan “selama saya menaati Allah, maka ikutilah saya,
tetapi apabila saya menyimpang , maka luruskanlah saya”. Jika demikian
pengertian khalifah, maka tidak setiap manusia mampu menerima atau
melaksanakan kekhalifahannya. Hal itu karena kenyataan menunjukkan bahwa
tidak semua orang mau memilih ajaran Allah.
Dalam
penciptaannya manusia dibekali dengan beberapa unsur sebagai
kelengkapan dalam menunjang tugasnya. Unsur-unsur tersebut ialah : jasad
( al-Anbiya’ : 8, Shad : 34 ). Ruh (al-Hijr 29, As-Sajadah 9,
Al-anbiya’ :91 dan lain-lain); Nafs (al-Baqarah 48, Ali Imran 185 dan
lain-lain ) ; Aqal ( al-Baqarah 76, al-Anfal 22, al-Mulk 10 dan
lain-lain); dan Qolb ( Ali Imran 159, Al-Ara’f 179, Shaffat 84 dan
lain-lain ). Jasad adalah bentuk lahiriah manusia, Ruh adalah daya
hidup, Nafs adalah jiwa , Aqal adalah daya fakir, dan Qolb adalah daya
rasa. Di samping itu manusia juga disertai dengan sifat-sifat yang
negatif seperti lemah ( an-Nisa 28 ), suka berkeluh kesah ( al-Ma’arif
19 ), suka bernuat zalim dan ingkar ( ibrahim 34), suka membantah (
al-kahfi 54 ), suka melampaui batas ( al-‘Alaq 6 ) suka terburu nafsu (
al-Isra 11 ) dan lain sebagainya. Hal itu semua merupakan produk dari
nafs , sedang yang dapat mengendalikan kecenderungan negatif adalah aqal
dan qolb. Tetapi jika hanya dengan aqal dan qolb, kecenderungan
tersebut belum sepenuhnya dapat terkendali, karena subyektif. Yang dapat
mengendalikan adalah wahyu, yaitu ilmu yang obyektif dari Allah.
Kemampuan seseorang untuk dapat menetralisasi kecenderungan negatif
tersebut ( karena tidak mungkin dihilangkan sama sekali ) ditentukan
oleh kemauan dan kemampuan dalam menyerap dan membudayakan wahyu.
Berdasarkan
ungkapan pada surat al-Baqarah 30 terlihat suatu gambaran bahwa Adam
bukanlah manusia pertama, tetapi ia khalifah pertama. Dalam ayat
tersebut, kata yang dipakai adalah jaa’ilun dan bukan khaaliqun. Kata
khalaqa mengarah pada penciptaan sesuatu yang baru, sedang kata ja’ala
mengarah pada sesuatu yang bukan baru,dengan arti kata “ memberi bentuk
baru”. Pemahaman seperti ini konsisten dengan ungkapan malaikat yang
menyatakan “ apakah engkau akan menjadikan di bumi mereka yang merusak
alam dan bertumpah darah?” ungkapan malaikat tersebut memberi pengertian
bahwa sebelum adam diciptakan, malaikat melihat ada makhluk dan jenis
makhluk yang dilihat adalah jenis yang selalu merusak alam dan bertumpah
darah. Adanya pengertian seperti itu dimungkinkan, karena malaikat
tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan, sebab yang tahu apa
yang akan terjadi dimasa depan hanya Allah.
Dengan
demikian al-Quran tidak berbicara tentang proses penciptaan manusia
pertama. Yang dibicarakan secara terinci namun dalam ungkapan yang
tersebar adalah proses terciptanya manusia dari tanah, saripati makanan,
air yang kotor yang keluar dari tulang sulbi, alaqah, berkembang
menjadi mudgah, ditiupkannya ruh, kemudian lahir ke dunia setelah
berproses dalam rahim ibu. Ayat berserak, tetapi dengan bantuan ilmu
pengetahuan dapat dipahami urutannya. Dengan demikian, pemahaman ayat
akan lebih sempurna jika ditunjang dengan ilmu pengetahuan.
Oleh
karena al-Quran tidak bicara tentang manusia pertama. Biarkanlah para
saintis berbicara tentang asal-usul manusia dengan usaha pembuktian yang
berdasarkan penemuan fosil. Semua itu bersifat sekedar pengayaan saint
untuk menambah wawasan pendekatan diri pada Allah. Hasil pembuktian para
saintis hanya bersifat relatif dan pada suatu saat dapat disanggah
kembali, jika ada penemuan baru. Misalnya, mungkinkah penemuan baru itu
dilakukan oleh ulama islam? Persamaan dan
perbedaan manusia dengan makhluk lain Dibanding makhluk lainnya manusai
mempunyai kelebihan-kelebihan. Kelebihan-kelebihan itu membedakan
manusia dengan makhluk lainnya. Kelebihan manusia adalah kemampuan untuk
bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, baik didarat, dilaut, maupun
diudara. Sedangkan binatang bergerak diruang yang terbatas. Walaupun ada
binatang yang bergerak didarat dan dilaut, namun tetap saja mempunyai
keterbatasan dan tidak bisa melampaui manusia. Mengenai kelebihan
manusia atas makhluk lain dijelaskan surat al-Isra’ ayat 70.
Disamping
itu, manusia diberi akal dan hati, sehingga dapat memahami ilmu yang
diturunkan Allah, berupa al-Quran menurut sunah rasul. Dengan ilmu
manusia mampu berbudaya. Allah menciptakan manusia dalam keadaan
sebaik-baiknya (at-Tiin : 95:4). Namun demikian, manusia akan tetap
bermartabat mulia kalau mereka sebagai khalifah ( makhluk alternatif )
tetap hidup dengan ajaran Allah ( QS. Al-An’am : 165 ). Karena ilmunya
itulah manusia dilebihkan ( bisa dibedakan ) dengan makhluk lainnya.
Jika manusia hidup dengn ilmu selain ilmu Allah, manusia tidak
bermartabat lagi. Dalam keadaan demikian manusia disamakan dengan
binatang, “mereka itu seperti binatang ( ulaaika kal an’aam ), bahkan
lebih buruk dari binatang ( bal hum adhal ). Dalam keadaan demikian
manusia bermartabat rendah ( at-Tiin : 4 ).
Pembahasan.
Islam
merupakan salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai kemanusia
atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung dan
luhur, tidak
ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat
semua aspek manusia. Karena Islam yang berakar pada kata “salima” dapat
diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan itu
sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri menggunakan dorongan
diri (drive) kearah bagaimana memanusiakan manusia dan atau memposisikan
dirinya sebagai makhluk ciptaaan Tuhan yang bukan saja unik, tapi juga
sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan tidak berjalan
seiring fitrah, maka janji Tuhan adzab dan kehinaan akan datang.
Fitrah
kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang tidak dapat
ditawar, dia hadir sering tiupan ruh dalam janin manusia dan begitu
manusia lahir dalam
bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya
sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan dimana manusia itu
dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah
barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama,
begitu pun nasrani dan lain sebagainya. Inilah yang sering dikatakan sebagai
sudut lahirnya keberagamanaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan
yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering dikatakan bahwa fenomena
keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang
normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas. .
Konsep manusia
Ada 3 teori dalam konsepsi manusia yaitu :
- Pertama yaitu Teori Evolusi.
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seorang sarjana Perancis J.B de Lamarck yang menyatakan bahwa kehidupan berkembang dari
tumbuh – tumbuhan menuju binatang dan dari binatang menuju manusia. Teori ini
merupakan perubahan atau perkembangan secara berlahan – lahan dari tidak
sempurna menjadi perubahan yang sempurna.
- Kedua yaitu Teori Revolusi
Teori
revolusi ini merupakan perubahan yang amat cepat bahkan mungkin dari
tidak ada menjadi ada. Teori ini sebenarnya merupakan kata lain untuk
menanamkan
pandangan pencipta dengan kuasa Tuhan atas makhluk-Nya. Pandangan
ini gabungan pemikiran dari umat manusia yang berbeda keyakinan yaitu
umat Kristen dan umat Islam tentang proses kejadian manusia yang
dihubungkan dengan keMaha Kuasaan Tuhan.
Dalam
Ajaran Kristen dijumpai kisah kejadian manusia dalam surat Kejadian
1-11 dan 12-50 tentang kisah oleh Martinus dalam “ Bagaimana Agama
Kristen Memandang teori Darwin “. Dalam ajaran Islam terbentuk opini dan
tidak berlebihan jika dikatakan sebagai
keyakinan, bahwa manusia dan juga alam semesta tercipta secara cepat oleh Kuasa
Allah.Keyakinan tersebut merupakan hasil interpretasi dari ayat – ayat Al-Quran
dalam surat Al-Baqarah ayat 30 yang menjelaskan tetntang
kejadian Adam yaitu “ Adam adalah suatu makhluk yang diciptakan dari
tanah yang diambil dari berbagai jenis yang kemudian dicampur dengan
air, dibentuk dan ditiupkan ruh kedalamnya, dan kemudian menjadi makhluk
hidup”,serta Yasin ayat 82 yang berbunyi kun fayakun dengan arti “ jadilah maka terjadilah dia ”.
- Ketiga yaitu Teori Evolusi Terbatas.
Teori
ini adalah gabungan pemikiran dari pihak-pihak agama yang berlandaskan
dengan alasan-alasan serta pembuktian dari pihak sarjana penganut teori
evolusi.
Seperti yang dikemukakan oleh FransDahler, yang
mengakui bahwa tumbuh-tumbahan, binatang, dan manusia selama ribuan atau
jutaan tahun yang benar-benar mengalami mutasi (perubahan) yang tidak
sedikit.
Menurut RHA. Syahirul Alim
cendekiawan Muslim ahli kimia menyatakan bahwa kita sebagai manusia
harus merasa terhormat kalau diciptakan dari keturunan kera karena
secara kimia molekul-molekul kera jauh lebih kompleks dibandingkan
dengan tanah, karena tanah molekulnya lebih rendah keteraturannya.
Menurut Al-Syaibani manusia dikelompokkan menjadi delapan definisi,antara lain :
- Manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia dimuka bumi
- Manusia sebagai khalifah dimuka bumi.
- Insan manusia sebagai makhluk sosial yang berbahasa.
- Insan yang mempunyai tiga dimensi yaitu badan, akal, dan ruh
- Insan
dengan seluruh perwatakannya dan ciri pertumbuhannya adalah hasil
pencapaian dua factor, yaitu faktor warisan dan lingkungan.
- Manusia
mempunyai motivasi, kecenderungan, dan kebutuhan permulaan baik
yang diwarisi maupun yang diperoleh dalam proses sosialisasi.
- Manusia mempunyai perbedaan sifat antara yang satu dengan yang lainnya.
Manusia Dalam pandangan islam
Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai makhluk, mukalaf, mukaram,
mukhaiyar, dan mujizat. Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat
insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab:
72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat
mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur
dan taqwa (asy-Syams: 8).
Selain itu, manusia juga diciptakan untuk mengaplikasikan beban-beban ilahiah yang
mengandung maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah yang harus
diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam mayapada
memiliki arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya tidaklah
untuk huru-hara dan tanpa hadaf ‘tujuan’ yang berarti. Perhatikanlah
ayat-ayat Qur`aniah di bawah ini.
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa
Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Manusia adalah makhluk pilihan dan makkhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT dari
makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya,
seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan
kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan ahsanu
taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara dan
memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini. Dengan
akal yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu memilah dan memilih
nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam risalah
para rasul. Dengan hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai
dengan iradah Robbnya dan dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk
melahirkan karya-karya besar dan tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia
tetap mempertahankan gelar kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya
seperti ahsanu taqwim, ulul albab, rabbaniun dan yang lainnya.
Maka, dengan sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat insaniah yang berkaitan
dengan keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi khusus
kepada manusia untuk menguji dan mengetahui siapa yang jujur dalam
beriman dan dusta dalam beragama.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami
telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabuut: 2-3).
Oleh karena itu, ia harus benar-benar mampu menjabarkan kehendak-kehendak ilahiah
dalam setiap misi dan risalah yang diembannya.
1.Misi Manusia
Manusia di dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus: misi utama; misi fungsional; dan
misi operasional.
A. Misi Utama
Keberadaan
manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada
Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan
garis yang telah
ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan kebijakan-kebijakan
ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya harus seirama dengan
alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam merespon seruan
Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah
menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap sinyal-sinyal yang
ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang telah diwajibkan oleh
Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang ada dalam ibadah
shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam mengarungi lautan
kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menghindari,
menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45).
Adapun nilai filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim
menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang
di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari
ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang
secara terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36,
al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).
Hal ini bisa terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat
dominan mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan
kekuatan fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang
tenang) untuk selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan,
dan kekuatan fujur yang di dominasi oleh nasfu ammarah (nafsu angkara murka)
yang senantiasa memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan.
Maka, dalam bingkai misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu sabiqun bil khairat, muqtashidun, dan dzalimun linafsihi. Hal ini
dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut.
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri
dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang
lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah
karunia yang amat besar.” (Faathiir: 32)
• Sabiqun bil khairat
Hamba Allah SWT yang termasuk dalam kategori ini adalah hamba yang tidak hanya puas
melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia
terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah
digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Akal sehatnya menerawang
jauh ke depan untuk menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif.
Hati sucinya menerima pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam. Inilah hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya
bashirah. Hamba yang hatinya senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan,
dan kepasrahan kepada Allah SWT.
• Muqtashidun
Hamba Allah yang masuk dalam kategori ini adalah manusia muslim yang puas ketika
mampu mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya,
tidak pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah
ibadah yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi
benteng dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang
dimakruhkan.
• Dzalimun linafsihi
Hamba
yang termasuk dalam kelompok ini adalah yang masih mencampuradukkan
antara hak dan batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah Allah SWT,
ia juga masih
sering berkubang dalam kubangan lumpur dosa. Jadi, dalam diri seorang hamba ada
dua kekuatan yang mempengaruhinya, tergantung kekuatan mana yang lebih
dominan, dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan syahwat yang
mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.
“Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat
mujarab dab terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali
al-Mawardy)
Apabila manusia mengikuti libido, mengekor nafsu angkara murka, dan menjadi budak
syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah
SWT. Ia akan mencampakkan dan mensia-siakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan
melakukan konspirasi bersama thogut-thogut untuk memberangus nilai-nilai
kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriah
‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriah
‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin ‘tempat yang paling rendah’,
al-an’aam ‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang berdiri. Inilah
manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, numun ia tidak pernah
berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat
Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah
komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari
nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60,
al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)
Ali
bin Abu Thalib ra. berkata, “Ada dua masalah yang saya takutkn menimpa
kamu. Pertama, mengikuti hawa nafsu. Kedua, banyak menghayal. Karena,
yang pertama akan
menjadi tembok penghalang antara dirinya dan kebenaran, dan yang kedua
mengakibatkan lupa akan akhirat.” Sebagian ahli hikmah berkata,
“Akal merupakan teman setia, dan hawa nafsu adalah musuh yang
ditaati.”Sebagian ahli hikmah yang lain berkata,“Hawa nafsu adalah raja
yang bengis dan penguasa yang lalim.” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya)
B. Misi Fungsional
Selain misi utama yang harus diemban manusia, ia juga mempunyai misi fungsional
sebagai khalifah. Manusia tidak mampu memikul misi ini, kecuali ia istiqamah di
atas rel-rel robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa khianat dari kamus
kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat mulkiah
‘kekuasan’, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah ‘binatang
ternak’.(al-Jawab al-Kaafi, Ibnu Qaiyim al-Jauziah)
Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah, maka ia akan mempertahankan
kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh
Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk
menjegal lawannya (al-Anfal: 26-27 dan Shaad: 26).
Adapun ketika jiwa manusia terbelenggu oleh syahwat syaithaniah dan bahaimiah,
maka ia akan selalu menciptakan permusuhan, keonaran, tipuan-tipuan, dan
menjadi rakus serta tamak akan harta. Tidak ada sorot mata persahabatan dan
sentuhan kasih dalam dirinya. Ia bersenang-senang di atas penderitaan rakyat
dan tak pernah berhenti mengeruk kekayaan rakyat.
C.Misi Operasional
Manusia diciptakan di bumi ini—selain untuk beribadah dan sebagai khalifah, juga
harus bisa bermain cantik untuk memakmurkam bumi (Huud: 61). Kerusakan di
dunia, di darat, maupun di lautan bukan karena binatang ternak yang tidak tahu
apa-apa, tetapi ia lahir dari tangan-tangan jahil manusia yang tidak pernah
mengenal rambu-rambu Tuhannya. Benar, semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk
manusia, namun ia tidak bebas bertindak diluar ketentuan dan rambu ilahi
(ar-Ruum: 41). Oleh karena itu, bumi ini membutuhkan pengelola dari
manusia-manusia yang ideal. Manusia yang memiliki sifat-sifat luhur sebagaimana
disebutkan di bawah ini. Syukur (Luqman: 31) Sabar (Ibrahim: 5)
Mempunyai belas kasih (at-Taubah: 128)Santun (at-Taubah: 114)Taubat
(Huud: 75) Jujur (Maryam: 54)
Terpercaya (al-A’raaf: 18)
Maka, manusia yang sadar akan misi sucinya harus mampu mengendalikan nafsu dan
menjadikannya sebagai tawanan akal sehatnya dan tidak sebaliknya,
diperbudak hawa nafsu sehingga tidak mampu menegakkan tonggak misi-misinya.
Hanya dengan nafsu muthmainnahlah, manusia akan sanggup bertahan mengibarkan
panji-panji kekhilafahan di antara awan jahiliah modern, sanggup
mengaplikasikan simbol-simbol ilahi dalam realitas kehidupan, membumikan
seruan-seruan langit, dan merekonstruksi peradaban manusia kembali. Inilah
sebenarnya hakikat risalah insan di muka bumi ini
Ada 3 teori dalam konsepsi manusia yaitu :
- Pertama yaitu Teori Evolusi.
- Kedua yaitu Teori Revolusi
- Ketiga yaitu Teori Evolusi Terbatas.
Dalam pandangan Islam, manusia didefinisikan sebagai
makhluk, mukalaf, mukaram, mukhaiyar, dan mujizat.
Manusia adalah makhluk yang memiliki nilai-nilai fitri dan sifat-sifat
insaniah, seperti dha’if ‘lemah’ (an-Nisaa’: 28), jahula ‘bodoh’ (al-Ahzab:
72), faqir ‘ketergantungan atau memerlukan’ (Faathir: 15), kafuuro ‘sangat
mengingkari nikmat’ (al-Israa’: 67), syukur (al-Insaan:3), serta fujur
dan taqwa (asy-Syams: 8).
Keberadaan
manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada
Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus searah dengan
garis yang
telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras dengan
kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan hatinya
harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya
dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam mengimplementasikan
apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan mampu menangkap
sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang
telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai filosofis yang
ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi manusia dalam
mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk
menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian
dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45). Adapun nilai filosofis ibadah puasa
adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan
ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk
melahirkan manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Artinya
adalah manusia sempurna, berasal dari kata al-insan yang berarti
manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini
pertama kali muncul dari gagasan tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim
bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan
menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis.
Al-Jili
merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW
sebagai sebuah contoh manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah
al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dipahami dalam pengertian
Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, tetapi juga sebagai nur (cahaya/roh)
Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini.
Nur
Ilahi kemudian dikenal sebagai Nur Muhammad oleh kalangan sufi,
disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke
dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang
berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia
Sempurna dalam Konsep Pengetahuan tentang Misteri yang Pertama dan yang
Terakhir) mengawali pembicaraannya dengan mengidentifikasikan insan
kamil dengan dua pengertian. Pertama, insan kamil dalam pengertian
konsep pengetahuan mengeneai manusia yang sempurna. Dalam pengertian
demikian, insan kamil terkail dengan pandangan mengenai sesuatu yang
dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai
sifat-sifat tertentu, yakni yang baik dan sempurna.
Sifat
sempurna inilah yang patut ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin
memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka
makin sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri
yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat
atau esensi dirinya. Dalam pengertian ini, nama esensial dan
sifat-sifat Ilahi tersebut pada dasarnya juga menjadi milik manusia
sempurna oleh adanya hak fundamental, yaitu sebagai suatu keniscayaan
yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan
yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi sebagai cermin bagi manusia
dan manusia menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya.
Bagi
al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang sempurna melalui latihan
rohani dan mendakian mistik, bersamaan dengan turunnya Yang Mutlak ke
dalam manusia melalui berbagai tingkat. Latihan rohani ini diawali
dengan manusia bermeditasi tentang nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai
mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta mendapat kekuasaan yang
luar biasa.
Pada
tingkat ketiga, ia melintasi daerah nama serta sifat Tuhan, masuk ke
dalam suasana hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau
insan kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata
Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad). Muhammad Iqbal
tidak setuju dengan teori para sufi seperti pemikiran al-Jili ini.
Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal
memang memandang dan mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai insan kamil,
tetapi tanpa penafsiran secara mistik.
Insan
kamil versi Iqbal tidak lain adalah sang mukmin, yang dalam dirinya
terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat
luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak Nabi SAW.
Insan kamil bagi Iqbal adalah sang mukmin yang merupakan makhluk
moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk
menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan
menghayati akhlak Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhjadap nasibnya
sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal
melihat, insan kamil dicapai melalui beberapa proses. Pertama, ketaatan
pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran
diri tentang pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi. dari ensklopedi Islam terbitan ikhtiar baru van hoeve
A. Manusia Sebagai Mahluk Sempurna
Pada hakekatnya manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai mahluk
yang sempurna di antara mahluk-mahluk Allah lainnya. Manusia diberi
begitu banyak keistimewaan di antaranya bentuk fisik yang indah,
kedudukan yang jauh lebih baik, dan yang paling berbeda yaitu akal
pikiran. Akal dapat digunakan untuk berpikir dan membedakan mana yang
baik dan yang buruk. Manusia sebagai insan kamil haruslah mempunyai
kepribadian dan ahlak yang baik. Pemuliaan Allah SWT kepada manusia
berkaitan dengan penciptaannya seperti diterangkan Allah dalam
firmanNya:
Artinya: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya
Fitrah manusia meliputi: hanif, potensi akal, qaib, nafsu. Fitrah
adalh kondisi awal suatu ciptaan atau kondisi manusia yang memiliki
potensi untuk mengetahui dan cenderung kepada kebenaran. Fitrah tidak
hanya diartikan sebagai penciptaan fisik, melainkan juga dalam arti
rihaniah yaitu sifat-sifat dasar manusiayang baik. Hanif (kecenderungan
kepada kebaikan) yang terjadinya proses persaksian sebelum digelar ke
muka bumi. Manusia memiliki potensi baik sejak kelahirannya. Potensi itu
meliputi: potensi jasmani (fisik), ruhani (spiritual), dan akal (mind).
Ketiga potensi ini akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk
menentukan dan memilih jalan hidupnya sendiri. Manusia diberi kebebasan
untuk menentukan takdirnya. Semua itu tergantungdari bagaimana mereka
memanfaatkan potensi yang melekat dalam dirinya. Potensi rohaniah berupa
akal, qald dan nafsu. Akal adalah pikiran atau rasio dan rasa bias
diartikan dengan bijaksana. Qald adalah hakikat manusiayang dapat
menangkap segala pengertian berpengetahuan dan arif. Nafsu adalah
sesuatu kekuatan yang mendorong manusia untuk mencapai keinginannya.
Tujuan hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah SWT dengan cara
melakukan perbuatan apapun asal yang tidak dilarang agama dan diniati
ibadah sehingga apapun yang kita kerjakan tidak hanya bermanfaat untuk
kehidupan di dunia tetapi juga kepentingan di akherat jadi tujuan hidup
manusia sudah jelas adalah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akherat, sebagaimana sering kita ucapkan dalam doa : "Rabbana aatina
fiddun-yaa hasanah wafil akhirati hasanah, waqinaa adzabannar". Untuk
mendapatkan kebahagiaan dunia telah diuraikan di depan, adalah berusaha
untuk menjadi Ahsani Taqwim dan Khalifah fil Ardhi, namun untuk
kebahagiaan akherat perlu kita teliti lebih jauh. Seperti dalam surat
Adz Dzariyat ayat 56:
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. 51:56)
Dalam islam tujuan pendidikan identik
dengan tujuan hidup (penciptaan) manusia. Menempatkan ibadah sebagai
tujuan hidup mengandung arti bahwa kita menyerahkan penilaian semua
gerak dan kiprah ibadah kita hanya kepada Allah.